Sea mengigil di balik selimut handuk yang diberikan Sky padanya. Dengan gemetar, ia menusuk cilor di dalam plastik bening yang warnanya sudah didominasi oleh merahnya saus sambal.

Dari ujung matanya, Sea bisa melihat Sky datang, berjalan santai sambil membawa pop mie di tangan kanan— “Kok lo cuma beli satu!?”

“Lah, kamu ngga ada minta, Sea. Aku mana tahu kamu mau.”

Sea mengunyah cilornya, kesal. “Ya masa lo ngga tahu? Sebagai orang asia tulen, mie paling enak dimakan pas hujan sama pas habis berenang gini.”

“Wah, ibuk nggak gitu soalnya. Seingetku, bekal yang dibawakan ibuk kalau wisata keluarga atau ke kolam renang gini, nugget deh. Sama ayam goreng, nasi, apalagi, ya? Lupa.”

“Ibuk agak strict ya soal makanan?” Sea mencoba merebut pop mie punya Sky, tapi gagal.

“Iya.”

“Nggak asik. Papa gue aja yang dokter, ngebebasin gue soal makanan. Ya, paling kalau udah sakit baru kena omel.”

“Ya, namanya juga ibuk-ibuk Indonesia, Sea. Lebih baik mencegah daripada mengobati.”

“Tapi mama gue, nggak begitu,” ucap Sea membisik.

Sky mengintip ke dalam selimut Sea, wajah gadis itu tenggelam di sana. “Rambut kamu masih basah. Mau aku bantu keringkan?”

“Nggak perlu. Nanti aja, gue belum keramas lagian.”

“Iya. Lo juga belum mandi.”

“Teroos, sindir aja terus. Sebel banget gue sama lo! Bagi pop mie-nya sini! Lagian lo tumben banget deh makan mie instan, cup begini lagi. Biasanya juga nggak mau. Kayak anti banget tahu, nggak?!” Sea mencebik, kesal. Sky menangkis tangannya. “Sky~”